1. Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang
gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi
dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai
makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang
percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada
makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap
yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa
segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan
kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu
kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap
tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri(polytheisme).
Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini
dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan
spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan
seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini
orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi
(esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada
hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada
kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap
kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
2. Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran
Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir
teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda
lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum,
yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu
misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat
disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.
Tahap positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk
berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik
pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan
tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang
sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu.
Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang
terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan
“pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian
“menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu
fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini
adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang
umum.
3. Positivisme
Positivisme diturunkan dari kata positif, filsafat ini berpangkal
dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif.
Positivisme hanya membatasi diri pada apa yang tampak, segala gejala.
Dengan demikian positivisme mengesampingkan metafisika karena metafisika
bukan sesuatu yang real, yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan
tidak dapat dibuktikan. Positivisme suatu aliran filsafat yang
menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar
dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal
adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Positivisme merupakan bentuk lain dari empirisme, yang mana keduanya
mengedepankan pengalaman. Yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah
bahwa positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang
objektif, tetapi empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman yang
bersifat batiniah atau pengalaman-pengalaman subjektif.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai
suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh
kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai
kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan
pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada
spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam
perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi,
walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang
diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill.
Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan
Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme –
berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius.
Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata
obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,
masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme
ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran
Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini
menggabungkan sejumlah aliran seperti ank, dan
lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap
ketiga ini adalatomisme logis, positivisme
logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini
diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan
ilmiah dan lain-lain.
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang
lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint
Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk
tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui
adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di
sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak
seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi,
setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa
agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu,
Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran
filsafat Positivisme. Menurut Comte, dan juga para penganut aliran
positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena
positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat
benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti
apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya
menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa
dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba
mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama.
Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai
tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan
selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi
dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan
dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah.
Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila
pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan
dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya
pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam
epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan
pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni
sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung
di dalam kata “positif”. Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan
positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat
dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat
dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan
sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat
dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu
bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan
kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh
karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang
demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab
suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan
bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa
garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo
science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu
pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia
melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang
lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan sebagai
konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif,
yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus
ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga
menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi,
eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif.
Singkatnya, filsafat Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis,
dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara
positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi
bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir
pour prevoir(mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia
harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara
gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham
empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi
Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas
dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara
“terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau
subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang
digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad
XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan
universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik,
dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik.
Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap
definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia
juga menolak nilai (value).
Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste
Comte berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari
gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan
hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam,
(c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan
telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam
ilmu-ilmu sosial budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar