Minggu, 14 Mei 2017

FRIEDRICH NIETZSCHE KEHENDAK BERKUASA




Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa – dan tidak ada yang lainnya! Kaulah sendiri yang menjadi kehendak untuk berkuasa ini – dan tidak ada lagi yang lainnya!

 

Sosok Nietzsche dikenal dengan pemikiran yang sangat unik dalam menanggapi fenomena kemanusiaan yang terjadi pada era abad ke-18. Dalam beberapa sumber tertentu sosok Nietzsche dikenal dengan pengaruh radikalnya. Oleh beberapa sebab, karya-karyanya bersifat ambiguitas dalam menanggapi fenomena kemanusiaan yang terjadi. Dari buah karyanya, Nietzsche menjadi orang yang berpengaruh pada pemikiran post-moderenisme. Dibalik itu, seperti yang tampak dalam sifat ego Nietzsche, filsafatnya juga salah satu pendobrak awal pemikiran eksistensi yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh kontemporer.
Gaya filsafatnya amat khas, yakni mengkritik segala sesuatu dan menyampaikan gagasan filosofis dengan gaya yang tidak lazim. Ia hadir sebagai semacam penentang kemapanan, baik dalam gaya bahasa, sejarah, kebudayaan, bahkan nantinya pada kemapanan hidupnya. Dalam bahasa misalnya tidak memakai gaya filsuf yang pernah mengenyam persekolahan, ia memakai bahasa sehari-hari bak seorang pakar untuk mengungkapkan apa pun yang ia katakan. Ia berwatak informal, bergairah, aforistis.
Nietzsche mengembangkan filsafat etika berdasarkan teori evolusi. Baginya, kalau hidup adalah perjuangan untuk bereksistensi dimana organisme yang paling pantas untuk bereksistensi hiduplah yang berhak untuk terus melangsungkan kehidupannya, maka kekuatan adalah kebajikan yang utama dan kelemahan adalah keburukan yang memalukan. Yang baik adalah yang mampu melangsungkan kehidupan, yang berjaya, dan menang; yang buruk adalah yang tidak bisa bertahan, yang terpuruk, dan kalah.
 



Konsep terpenting dalam buah karya yang melekat erat dalam beberapa tulisannya adalah “will to power”. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa Nietzsche mengembangkan konsep inti dari Schopenhauer dari kehidupan Yunani kuno yang mengadopsi gagasan-gagasan timur. Berkesimpulan, bahwa alam semesta dikendalikan oleh kehendak buta. Nietzche dalam study mencari gagasan Yunani kuno telah menyimpulkan bahwa kekuatan yang menjadi pendorong peradapan semata-mata adalah langkah untuk mencari kekuatan tertinggi (absolute) dalam mencari sebuah kekuasaan. Hal ini di pertegas Nietzsche yang tertulis dalam buku terjemahan karya Walter Kaufman, dan R.J. Hollingdale sebagai berikut:
Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa – dan tidak ada yang lainnya! Kaulah sendiri yang menjadi kehendak untuk berkuasa ini – dan tidak ada lagi yang lainnya!
Dari kesimpulan Nietzsche mengenai “Will to Power” adalah bahwa manusia terdorong oleh suatu “kehendak untuk berkuasa”. Dengan kata lain, jantung pergerakan tindakan yang dilakukan manusia tidak lepas dari suatu kehendak. Gagasan-gagasan ini juga meliputi beberapa aspek perasaan kerendahan hati, cinta, dan kewelas asihan (keibaan, compassion). Tetapi, fakta yang sebenarnya memperlihatkan bahwa hal ini tak lebih hanyalah suatu penyamaran yang cerdik dari Will to Power.  Dengan demikian, suatu konsep“Will to Power” dapat menjadi tolak ukur untuk memahami motif suatu tindakan sosial yang dilakukan oleh seseorang dalam mencapai tujuan tertentu.
Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa adalah inti sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energi-energi mabuk khas Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi lain konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang patuh pada tata hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern, yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya, karena alasan-alasan moral. Penolakan ini menciptakan ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk, apa yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar